TPST Bantargebang dari Waktu ke Waktu

Jakarta -- Sejak beroperasi pada 1989, Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, yang kini sudah berganti nama menjadi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, telah mengalami berbagai perubahan, tujuan akhir pembuangan sampah Ibu Kota ini pertama kali berdiri atas dasar kerjasama antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Saat itu, Pemerintah Jakarta memberikan kompensasi berupa dana tunai ke Pemerintah Kota Bekasi. Selain itu, DKI juga bertanggungjawab atas infrastruktur di lingkungan sekitarnya.

Kerja sama itu berlangsung hingga 1999 silam. Setahun setelahnya hingga 2004, terjadi gejolak politik sehingga bentuk kerja sama dikaji ulang. Namun, operasional saat itu tetap dijalankan.

Pada 2002, nota kesepakatan pengelolaan TPA kembali ditandatangani, dengan beberapa perubahan. Jika sebelumnya Pemerintah DKI memberikan kompensasi Rp. 8 miliar, maka pada 2002 kompensasi ditambah jadi Rp. 14 miliar.

Anggota Komisi A DPRD Bekasi Hasnul Kholid Pasaribu saat itu mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan keberadaan TPA Bantargebang, tapi ada hal-hal yang mesti diperhatikan.

"Mau dipakai setahun atau sepuluh tahun pun kami tidak peduli, yang penting analisa dampak lingkungannya diperhatikan dengan baik."

Pada 2004, seperti yang terjadi saat ini, sampah Jakarta diadang warga Bekasi sehingga tidak bisa dibuang di sana. Alasannya, warga meminta kompensasi dan perbaikan layanan kesehatan.

Akhirnya, operator lapangan yang sebelumnya dipegang oleh Pemerintah DKI, diserahkan ke pihak swasta yakni PT Patriot Bekasi Bangkit. Sebesar 20 persen dari pembayaran tipping fee setiap ton sampah ke PT PBB dibayarkan ke Pemkot Bekasi.

Pada 2007, Pemprov DKI kembali menjadi operator lapangan. Kesepakatan tipping fee yang masuk ke Pemerintah Bekasi tidak berubah.

PT Godang Jaya dan PT Navigat yang kini berseteru dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama baru ditunjuk sebagai operator pada 2008. Kesepakatan 20 persen pun masih belum berubah.

Pada 2012, pemerintah DKI Jakarta mempunya rancangan besar baru alias masterplan soal pengelolaan sampah. Masterplan itu menjadi acuan pengelolaan sampah Ibu Kota hingga 2032.

Gubernur Fauzi Bowo saat itu mengatakan masterplan ini merupakan turunan dari Undang-Undang 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah.

"Ketiga peraturan tersebut wajib ditindaklanjuti Pemprov melalui peraturan di tingkat daerah," kata Fauzi.

Fauzi saat itu mengatakan Jakarta perlu membangun tempat pengolahan sampah yang modern, berteknologi tinggi dan ramah lingkungan di dalam kota Jakarta. Belakangan direncanakan, tempat pengolahan sampah itu akan berada di lima titik yakni Marunda, Cakung, Cilincing, Sunter dan juga di Duri Kosambi.

Namun, pada kenyataannya, hingga kini Jakarta masih harus bergantung pada TPST Bantar Gebang. Sebanyak 6.500 ton sampah yang dihasilkan DKI per hari masih dibuang ke TPST tersebut. Padahal, jika program pengolahan dalam kota itu rampung, DKI bisa mengurangi separuh pembuangan sampah ke Bantar Gebang.